Selama di kelas perasaan saya sangat tidak tenang, pikiran saya terus  tertuju kepada kondisi Baba di rumah sakit, meskipun saya terus  berusaha untuk tenang tetapi hati ini selalu ingin segera pulang ke  rumah.
Segera setelah perkuliahan, karena jarak yg cukup jauh dari tempat  angkot ngetem, saya meminta tolong kepada Fajrie teman saya untuk  mengantar saya mencari angkot untuk pulang dengan motornya.
Dalam perjalanan saya mencoba menghubungi rumah dari handphone,  tetapi tidak diangkat hingga berkali-kali, lalu saya mencoba menghubungi  kaka saya yang sedang di rumah sakit… tidak berapa lama telepon saya  diangkat, lalu ada suara diseberang sana yang bilang ke saya “Kalau  sudah pulang, tunggu saja dirumah, ada Mpo Atin disana” tut..tut..tut..
Sungguh saya semakin bingung ada apa sebenarnya, namun saya tidak  ingin mengikuti firasat dalam diri saya.. saya hanya tidak ingin hal  yang buruk terjadi. Saya duduk di dalam angkot dengan penuh  ketidakpastian, penuh dengan pikiran negatif, tetapi saya berusaha tidak  mengikuti kekhawatiran dalam pikiran saya.
Beruntung angkot yang saya tumpangi tidak begitu sering berhenti, dan  jalan raya ke arah rumah sayapun terasa lengang tidak seperti hari-hari  biasanya yang selalu macet. Tidak sampai setengah jam akhirnya saya  sampai di depan jalan menuju rumah, tiba-tiba ada ojek yang biasa  mangkal di sana menghampiri saya dan berbicara kepada saya “Ayo cepetan  us, gw disuruh anter lw ke rumah”. Lalu saya bertanya “memangnya ada apa  bang?” tapi dia hanya diam tidak menjawab pertanyaan saya, saya  bertanya dalam hati “ada apa ini?”.
Sampai dirumah hanya ada Mpo Atin, kakak perempuan saya yang nomor 9.  Memang kami semua 13 bersaudara dan saya adalah anak yang terakhir atu  yang ke 13. Saya langsung bertanya kepada dia ada apa sebenarnya? Dari  penjelasannya saya mengetahui bahwa Baba sedang mengalami masa kritis,  dan semua keluarga kecuali Mpo Atin dan saya sudah berada di rumah  sakit. “Kenapa tidak ada yang menghubungi gw tadi?” pertanyaan tersebut  langsung keluar dari mulut saya, dan Mpo Atin menjawab “Tadi kabar dari  rumah sakit begitu mendadak, dan tidak ada waktu lama, tetapi bukan lupa  sama Daus, hanya yang lain tidak mau membuat Daus berfikir  macam-macam”. Saya bisa maklum terhadap alasan tersebut, memang saya  tidak diperbolehkan berfikir yang terlalu berat dan menyebabkan stress,  yang bisa menyebabkan diri saya mengalami kejang, namun saya menyesal  tidak ada di samping Baba disaat genting dalam hidupnya.
Telepon rumah berdering, segera Mpo Atin mengangkatnya, namun tidak  lama kemudian dia mengeluarkan air mata, sambil terisak pelan dia  menutup telepon tersebut, lalu menghampiri saya dan berujar pelan…”Baba  udah dipanggil us”. Jlebb… saya langsung terdiam, rasanya sulit untuk  mengeluarkan kalimat dari mulut saya, saya langsung terduduk lemas  menyandar pada tembok di belakan saya. Saya tidak bisa membendung air  mata ini, tetapi saya tidak mau berlama-lama larut dalam kesedihan, saya  mencoba ikhlas menerima semua ini meskipun dimata saya Baba adalah  sosok ayah yang sempurna, ayah yang selalu bekerja keras demi melihat  keluarga yang amat dia cintai hidup dengan bahagia, ayah yang mendukung  setiap keinginan anak-anaknya, ayah yang menjadi teladan bukan hanya  bagi keluarga tetapi juga bagi orang lain, ayah yang mengenalkan saya  kepada sepakbola hingga sekarang saya menjadi seorang penggila  sepakbola, ayah yang mendukung saat saya memilih menekuni basket, ayah  yang selalu sabar bila melihat saya kejang serta kesakitan akibat tumor  otak yang saya derita, serta ayah yang terus berusaha mencari jalan  keluar untuk kesembuhan saya, meski beliau juga mempunyai penyakit yang  membutuhkan perhatian.
Jenazah Baba tiba dirumah sehabis magrib, dan diputuskan untuk  menguburnya keesokan harinya, yaitu pada hari Jumat 31 Agustus 2007  setelah Shalat Jumat. Keesokan harinya, jenazah Baba dikubur tepat  disamping makam ibundanya (nenek) dan anaknya, yang tak lain adalah  kakaku yang nomor 2.
Beberapa hari sebelum beliau masuk rumah sakit, ada sebuah momen saat  kami duduk berdua di pekarangan belakang rumah pada sore hari. Dalam  kesempatan itu, Baba menayakan perkembangan kesehatan dan kuliah saya,  serta tidak lupa menceritakan saat masa muda beliau, meski sudah  berkali-kali Baba menceritakan hal tersebut tetapi saya tidak pernah  bosan mendengarnya, karena Baba mempunyai keunikan dalam berbicara. Kata  “Ngarti kaga lu” atau “Paham kaga”  adalah kata yang wajib ada bila  beliau sedang bicara, pembawaannya yang lucu membuat saya nyaman bila  berbicara santai maupun serius dengan beliau.
Ditengah perbincangan tersebut, kami berdua sempat terdiam..  tiba-tiba Baba berujar “Kapan-kapan mau buat bale atu saung yang gedean,  biar kalo banyak orang dateng ketampung semua”. Pada saat itu saya  menanggapinya dengan santai, saya tidak merasa kalau kalimat tersebut  adalah pertanda beliau akan meninggalkan kami semua, dan itulah  terakhirkalinya saya duduk santai berdua dengan beliau.
Saya tahu kepergian Baba adalah ujian terberat bagi saya, apalagi  beliau begitu berharap melihat saya sembuh dari tumor otak  serta  melihat saya menjadi seorang sarjana. Tetapi sebelum hal tersebut  kesampaian, Allah terlebih dahulu memanggil beliau. Dan saya akan  berusaha keras untuk memenuhi harapannya melihat saya sembuh dan menjadi  seorang sarjana, serta meraih sukses dimasa depan meski beliau  melihatnya dari surga.. Amin.



0 komentar:
Posting Komentar